Feeds RSS

Rabu, 09 April 2014

ASKEP teori stroke


STROKE


A.    KONSEP STROKE
1.      Pengertian Stroke
Stroke adalah suatu penyakit gangguan fungsi anatomi otak yang terjadi secara tiba-tiba dan cepat, disebabkan karena gangguan perdarahan otak. Stroke atau Cerebro Vasculer Accident (CVA) adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Brunner dan Suddarth, 2002). Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak (Elizabeth J. Corwin, 2002).
           Stroke adalah sindrom yang awal timbulnya mendadak, progresif cepat, berupa deficit neurologis fokal atau global yang langsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran otak non traumatic (Mansjoer 2002). Stroke adalah gangguan neurologik fokal yang dapat timbul sekunder dari proses patologis pada pembuluh darah serebral, misal: Trombosis, embolis, ruptura dinding pembuluh atau penyakit vaskuler dasar (Prince, 2002).
2.      Penyebab Stroke
Gangguan pada aliran darah otak dapat disebabkan oleh adanya penyempitan, tertutupnya maupun pecahnya pembuluh darah ke otak, penyebab stroke dapat terjadi karena :
a.        Trombosis
Trombosis terjadi karena adanya kelainan pada dinding arteri yang menyebabkan penyempitan dari lumen arteri, sehingga diameternya menjadi kecil yang pada suatu saat dapat terjadi penyumbatan. Usia yang paling sering terserang penyakit ini berkisar antara usia 60 sampai 69 tahun, awitan gejala penyakit biasanya cenderung terjadi bila penderita sedang tidur atau pada saat bangun tidur. Intensitas maksimal baru disadari sesudah 48 jam, kemudian perkembangan umumnya berlangsung secara bertahap.
Trombosis dapat timbul karena proses :
1)       Artherogenik
Umumnya karena proses artheroskeloris ditandai oleh plak berlemak pada lapisan intima arteri besar. Bagian intima arteri serebri menjadi tipis berserabut, sedangkan sel-sel ototnya menghilang. Lamina elastika interna robek dan berjumbai, sehingga lumen pembuluh darah sebagian terisi oleh materi sklerotik tersebut.
2)       Non Artherogenik
Terjadi bukan karena proses artherogenik, misalnya karena kelainan penyakit darah seperti anemia, polisitemia, diskrasia darah, arteritis dan efek samping penggunaan pil konstrasepsi.
b.        Emboli
Emboli merupakan benda asing dalam aliran darah sehingga dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh arteri, apabila terjadi pada arteri yang menuju ke otak maka otak akan mengalami penurunan suplai darah sehingga otak hypoxia dan akhirnya iskemik.
Penyebab terjadinya emboli ada dua, yaitu faktor dari jantung (artrial fibrilasi, infark miokard, kelainan katup, endocarditis) dan faktor non kardial (pleque artheromatosus di arteri karotis komunis, emboli dari paru, emboli udara pada tindakan abortus). Gejala-gejala dapat timbul setiap saat dan berkembang secara progresif cepat.
c.        Perdarahan.
Perdarahan biasanya disebabkan oleh ruptura arteri serebri. Ekstravasasi darah terjadi di aliran darah otak dan atau sub archnoid, sehingga jaringan yang terletak di dekatnya akan tergeser dan tertekan. Darah ini sangat mengiritasi jaringan otak sehingga mengakibatkan vasospasme pada arteri di sekitar perdarahan. Spasme ini dapat menyebar ke seluruh hemisfer otak dan sirkulus willisi.
Timbulnya penyakit ini mendadak dan evolusi dapat dikatakan cepat dan konstan, dapat berlangsung beberapa menit, beberapa jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa hari. Gambaran klinis yang sering terjadi antara lain : sakit kepala berat, leher bagian belakang kaku, muntah proyektil,  koma dan kejang.
Terdapat dua jenis perdarahan otak, yaitu perdarahan intra serebral dan perdarahan sub arachnoid.
1)       Perdarahan Intra Serebral (PIS)
Perdarahan intra serebral terjadi di substansi dalam otak. Perdarahan intra serebral dapat terjadi karena :         
a).      Hipertensi
Tekanan darah yang  tinggi menyebabkan laju aliran darah lebih kuat dari normal, sehingga dapat menyebabkan ruptur arteri dan mengakibatkan perdarahan. Apabila hal tersebut terjadi pada pembuluh darah otak maka terjadilah stroke. Dengan bertambahnya usia, adanya hipertensi dan aterosklerosis pembuluh darah akan berkelok-kelok atau spiral.
b).     Aneurisma, anomaly arteri vena serebral, diskrasia darah, pemakaian obat-obatan anti koagulan.
2)       Perdarahan Sub Arachnoid (PSA)
Biasanya disebabkan oleh perdarahan arterial ke dalam ruang sub arachnoid di sekeliling otak dan sering meluas ke dalam jaringan otak atau ke dalam ventrikel. Perdarahan sub arachnoid dapat terjadi sebagai akibat trauma dan hipertensi, tetapi penyebab paling sering adalah ruptur aneurisma intrakranial, trauma atau perdarahan intraserebral hipertensif, anomali arterio venosa, gangguan perdarahan neoplasma dan lain-lain.
3.      Klasifikasi Stroke
a.    Berdasarkan Stadium Klinik
1)         Transient Ischemik Attack (TIA)
                        Merupakan gangguan peredaran darah otak sepintas yang karena terjadinya vasospasme sehingga terjadi penyumbatan pada pembuluh darah otak. Setelah vasospasme hilang, maka gejala juga akan hilang dan keadaan akan sembuh seperti semula dalam jangka waktu tidak lebih dari 24 jam. Gejalanya yang dapat timbul berupa hemiparese, hemiparestesia ataupun afasia atau dapat juga terjadi kejang.
2)         Reversible Ischemia Neurologik Defisit (RIND)
Defisit neurologik yang bertahan lebih dari satu hari dan kembali ke keadaan semula dalam waktu tiga minggu.
3)         Stroke In Evolution (SIE) atau Progresive Stroke
Merupakan defisit neurologik yang bertambah berat secara kuantitatif dan kualitatif. Terjadi secara bertahap selama jangka waktu menit, jam ataupun hari. Gejala awalnya biasanya penderita merasakan disfungsi ringan yang dapat berupa parestesia hemifasialis saja atau parese ringan pada lengan atau tungkai satu sisi tergantung pada daerah otak mana yang mengalami iskemia. Apabila mekanisme vaskularisasi kompensatorik tidak juga datang dapat menyebabkan iskemia serebral yang lebih berat dan luas sehingga timbul hemiparesis yang parah.
4)         Completed Stroke (CS)
Iskemia serebri regional akibat trombosis serebri berkembang menjadi infark dan hemoragic. Pada tahap ini maka berkembanglah hemiparesis yang tidak lama kemudian akan menjadi hemiparalisis. Defisit neurologik yang terjadi relatif stabil dan sedikit sekali perubahannya.
b.   Berdasarkan Proses Patologi
1)         Infark Serebri
Keadaan ini terjadi akibat suplai darah yang dialirkan ke otak hanya melalui arteri cerebri yang sehat atau berdilatasi sehingga hanya jaringan otak yang sehat saja yang mempunyai jatah darah, sedangkan daerah yang edema tidak kebagian mendapat jatah darah.
2)         Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral terjadi akibat pecahnya pembuluh darah arteri otak, sehingga terjadi perembesan aliran darah ke daerah parenkim otak. Hal ini menyebabkan pergeseran dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan. Jaringan otak internal akan tertekan dan menyebabkan edema serebral serta herniasi otak.
3)         Perdarahan Subarachnoid
Merupakan gangguan aliran darah pada satu atau lebih pembuluh darah serebral yang terjadi akibat oklusi atau pecahnya pembuluh darah serebral secara spontan.
4.      Manifestasi Klinik Stroke
Gambaran klinis utama yang dikaitkan dengan insufisiensi aliran darah ke otak dapat dihubungkan dengan tanda dan gejala dibawah ini :
a.        Vertebro-basilaris
Apabila insufisiensi terjadi pada daerah ini maka akan timbul gejala seperti kelemahan pada satu atau keempat anggota gerak, peningkatan refleks tendon, ataksia, tanda babinski bilateral, disfagia, gangguan daya ingat, pusing, gangguan penglihatan dan muka baal.
b.         Arteri karotis interna
Bila insufisiensi terjadi pada area ini maka akan timbul gejala seperti buta satu mata yang episodik pada sisi tubuh yang arteri karotisnya terserang yang disebabkan oleh insufisiensi arteri retina, gejala sensorik dan motorik anggota tubuh kontralateral akibat insufisiensi aliran darah arteri serebri media, lesi pada daerah antara arteri cerebri anterior dan media, gejala mula-mula anggota gerak terasa lemah dan baal dan dapat melibatkan wajah, bila terjadi pada hemisfer dominan maka akan timbul gejala afasia ekspresif,  arteria serebri anterior (gejala primernya adalah perasaan kacau), kelemahan kontralateral, gerakan volunter pada tungkai terganggu, gangguan sensorik kontralateral, dimensia dan disfungsi lobus frontalis.
c.          Arteri cerebri posterior
Apabila insufisiensi terjadi pada arteri cerebri posterior maka akan timbul gejala seperti koma, hemiparesis kontralateral, afasia visual atau buta kata dan kelumpuhan nervus saraf  ketiga.
d.         Arteri serebri media
Bila insufisiensi terjadi pada arteri serebri media maka akan timbul gejala-gejala seperti hemiparesis kontralateral (biasanya mengenai lengan), hemianopsia kontralateral (kebutaan), afasia global dan disfagia.
5.      Faktor Risiko Terjadinya Stroke
a.       Faktor Resiko Mayor
Tidak semua orang akan mengalami penyakit stroke, namun tidak dapat dipungkiri bahwa banyak orang dapat memiliki faktor-faktor resiko terjadinya stroke, yaitu :
1).  Hipertensi
Tekanan darah yang tinggi sering menyebabkan gangguan fungsi otak dan merusak struktur otak manusia melalui mekanisme gangguan vaskuler, infark dan perdarahan otak.
2).  Penyakit Jantung
Penyakit jantung seperti penyakit arteri koronaria, gagal jantung kongestif, hipertropi ventikrel kiri, fibrilasi atrium, dapat menyebabkan artherosklerosis, emboli, beban jantung meningkat, sehingga lumen arteri menyempit dan terjadi gangguan pada aliran darah otak.
3).  Diabetes Militus.
Pada klien diiabetes militus terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah, hal tersebut menyebabkan viskositas darah meningkat sehingga mengganggu aliran darah termasuk termasuk aliran darah ke otak.
b.        Faktor Resiko Minor.
1).  Hiperlipidemia.
      Peningkatan kadar lipid (kolesterol dan trigliserida) di dalam darah dapat mengakibatkan gangguan metabolisme karbohidrat dan protein. Penumpukan lemak didalam lumen darah akan meningkatkan viskositas darah dan menyebabkan laju aliran darah terganggu, sehingga akan menimbulkan resiko terjadinya stroke.
2).  Obesitas.
      Orang yang obesitas atau kegemukan cenderung untuk mempunyai penyakit DM, jantung dan hipertensi. Adanya penumpukan lemak yang berlebih didalam tubuh menjadi salah satu faktor resiko terjadinya stroke.
3).  Hematokrit yang meningkat.
      Hematokrit yang meningkat menyebabkan darah menjadi kental, viskositas darah meningkat menyebabkan laju aliran darah terganggu sehingga menimbulkan resiko terjadinya stroke.
4).  Gaya hidup.
a)          Merokok.
b)         Penderita stroke pada orang yang minum-minuman keras / alcohol dan wanita menggunakan alat kontrasepsi hormonal meningkat 16 kali.
6.      Patofisiologi Stroke
Otak merupakan organ tubuh yang sensitif terhadap oksigen dan nutrisi. Otak harus menerima aliran darah yang konstans untuk mempertahankan fungsi normalnya karena otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sendiri. Aliran darah berfungsi sebagai tempat untuk membuang sampah metabolik, karbondioksida dan asam laktat. Jika aliran darah keotak berkurang ataupun menurun maka akan mengakibatkan kerusakan otak dengan cepat.
Melalui proses autoregulasi serebral, aliran darah keotak tetap diupayakan konstan sebanyak 750 ml/ menit. Untuk merespon terhadap perubahan tekanan darah maka akan terjadi vasokontriksi dan vasodilatasi dari arteri otak.
Pada stroke, iskemik terjadi dalam jaringan otak yang aliran darah arterinya terganggu akibat trombus atau emboli sehingga menimbulkan gangguan fungsi otak. Iskemik dapat menyebabkan hipoksia atau anoksia dan hipoglikemik pada jaringan otak. Proses ini dapat mengakibatkan kematian pada neuron, sel ganglia dan struktur otak disekitar area infark. Edema yang  terjadi akan memperberat infark itu sendiri. Edema dapat berlangsung dalam beberapa jam atau beberapa hari.
Setelah terjadinya infark dan edema, maka secara otomatis akan terjadi penurunan kemampuan fungsi otak dalam menjalankan fungsi neurologisnya seperti semula. Hal ini mengakibatkan terjadinya defisit neurologis pada area kontralateral dari area lesi otak yang terkena, sesuai dengan karakteristik dari otak.
7.      Pemulihan dan Rehabilitasi Pasien Pasca Stroke
Maksud dan tujuan dilakukan rehabilitasi adalah menjaga kemampuan fisik, rohani, sosial, dan kemampuan untuk bekerja seoptimal mungkin. Hal-hal yang dilakukan adalah fisioterapi, terapi bicara, terapi mental, psikoterapi, dan lain-lain. Hal ini dimaksudkan agar fungsi otak yang berkurang akibat stroke dapat dirangsang untuk berfungsi seperti semula, walaupun tidak maksimal.
a.       Mobilisasi dini
Terapi ini dilakukan secepatnya walaupun kondisi pasien masih di atas tempat tidur. Hal ini dimaksudkan untuk memperbaiki fungsi neurologis dan mencegah terjadinya kekakuan otot-otot tubuh. Mobilisasi sebaiknya dimula 24-48 jam pasca stroke, baik untuk pasien dalam kondisi koma maupun sadar. Hal yang dapat dilakukan seperti mengangkat kepala, mengangkat kaki dan lengan. Jika sadar, pasien dapat dibantu untuk berdiri.
b.      Terapi bicara
Pasien dianjurkan secepatnya memulai terapi kemampuan bicaranya. Anggota keluarga diharapkan secara aktif mengajak pasien berbicara walaupun pasien kesulitan untuk mengutarakannya dan keluarga sulit mengerti apa yang dikatakan pasien.
c.       Fisioterapi
Anggota gerak yang mengalami kelumpuhan mulai dilatih, baik oleh diri sendiri atau dibantu oleh seorang terapis. Hal ini dimaksudkan agar fungsi motorik dapat diusahakan kembali mendekati fungsi yang normal. Selain itu, terapi ini juga mencegah terjadinya atrofi pada otot yang lumpuh.
d.      Psikoterapi
Tujuan psikoterapi adalah agar pasien pasca stroke tidak mengalami hal-hal yang kurang baik, seperti rendah diri, gampang marah, stres, maupun kehilangan minat terhadap segala sesuatu.
Tindakan pencegahan yang harus dilakukan yaitu menghindari rokok, alkohol, minum kopi, dan menjalani hidup dengan tenang dan rileks. Olahraga perlu dilakukan secara teratur disesuaikan dengan kemapuan tubuh.




























B.     KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK DENGAN PASCA STROKE
Proses keperawatan adalah kegiatan yang berurutan dilakukan secara sistematis untuk menentukan masalah klien, membuat perencaan untuk mengatasinya pelaksanaan rencana dan mengevaluasi keberhasilann secara efektif terhadap masalah yang diatasinya.
Proses keperawatan pada dasarnya adalah metode pelaksanaan asuhan keperawatan yang sistematis yang berfokus pada respon manusia secara individu, kelompoak dan masyarakat terhadapat perubahan kesehatan baik aktual maupun potensial. Proses keperawatan terdiri dari lima tahap yaitu :
1.    Pengkajian
2.    Diagnosa Keperawatan
3.    Perencanaan
4.    Pelaksanaan
5.    Evaluasi
Secara terperinci asuhan keperwatan pada perawatan masa nifas melalui pendekatan proses keperawatan akan dibahas di bawah ini:
1.    Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap yang sistematis dalam pengumpulan data tentang individu, keluarga, dan kelompok (Carpenito dan Moyet, 2007).
a.    Identitas
1)      Identitas klien: nama, tempat tanggal lahir, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan terakhir, diagnosa medis, dan alamat.
2)      Identitas keluarga ata orang lain yang penting/dekat yang dapat dihubungi: nama, alamat, no telepon, dan hubungan denga klien.
b.    Riwayat pekerjaan dan status ekonomi: pekerjaan saat ini, pekerjaan sebelumnya, sumber pendapatan, dan kecukupan pendapatan.
c.    Aktivitas rekreasi: hobi, berpergian/wisata, keanggotaan organisasi, dan lain-lain.
d.   Riwayat kelurga: saudara kandung (nama, keadaan saat ini, dan keterangan), riwayat kematian (nama, umur, dan penyebab kematian), dan kunjungan keluarga.
e.    Pola kebiasaan sehari-hari
1)      Nutrisi: terjadi perubahan dan masalah dalam memenuhi kebutuhan nutrisi karena adanya rasa mual dan muntah, kurang nafsu makan, kehilangan sensasi rasa pada lidah, disfagia, kesulitan menelan akibat gangguan pada refleks palatum dan faringeal.
2)      Eliminasi: terjadi perubahan dalam pola pemenuhan eliminasi, pada pola eliminasi BAK akan terjadi perubahan pola berkemih seperti inkontinensia urine atau anuria, pada pola eliminasi BAB dapat terjadi distensi abdomen dan dapat terjadi obstipasi.
3)      Personal hygiene: karena adanya kelemahan atau kelumpuhan motorik sehingga klien harus dibantu dalam memenuhi kebutuhannya.
4)      Istirahat dan tidur: akan didapatkan kesukaran dalam memenuhi aktivitasnya karena kelemahan, mudah lelah ataupun intoleran terhadap aktivitas dan sukar tidur.
5)      Kebiasaan mengisi waktu luang: olahraga, nonton TV, berkebun/memasak, dan lain-lain.
6)      Kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan (jenis, frekuensi, jumlah, dan lama pakai): merokok, minuman keras, dan ketergantungan terhadap obat.
7)      Uraian kronologis kegiatan sehari-hari: jenis kegiatan dan lama waktu untuk setiap kegiatan.
f.     Status kesehatan
1)      Status kesehatan saat ini: keluhan utama dalam satu tahun terakhir, gejala yang dirasakan, faktor pencetus, timbulnya keluhan (mendadak atau bertahap), waktu timbulnya keluhan, dan upaya mengatasi.
2)      Riwayat kesehatan masa lalu: penyakit yang pernah diderita, riwayat alergi (obat, makanan, binatang, debu, dll), riwayat kecelakaan, riwayat dirawat di rumah sakit, da riwayat pemakaian obat.

3)      Pemeriksaan fisik
a)      Sistem Pernafasan.
Klien akan didapatkan batuk tidak efektif, pernafasan tidak teratur, kemungkinan cheynes-stokes dan terjadi  paralisis otot pernafasan, bunyi nafas ngorok ronchi, adanya sekret dan aspirasi.
b)     Sistem Kardiovaskuler.
Adanya hipotensi, denyut nadi perifer berkurang tetapi nadi sentral kuat, terdengar bunyi jantung tambahan seperti mur-mur atau gallop dan irama jantung tidak teratur.
c)      Sistem Gastro Intestinal.
Nafsu makan menurun, kehilangan sensasi pada lidah, paralise pada otot wajah dan kerongkongan (disfagia), sehingga menimbulkan masalah dalam menelan dan mengunyah, serta terjadi peristaltik usus menurun yang mengakibatkan konstipasi. Distensi abdomen dan penembahan berat badan dengan pesat terjadi pada klien stroke disertai penyakit jantung.
d)     Sistem Persarafan.
Dapat terjadi penurunan tingkat kesadaran dihitung dari nilai GCS biasanya pada stroke dengan hemoragik, biasanya stroke infark pada hemisfer serebri tetap sadar selama perjalanan penyakitnya.
a)   Tes Fungsi Serebral.
(1)       Status Mental.
Dapat timbul gejala disorientasi waktu, tempat dan orang, menjadi kurang konsentrasi dan perhitungan, ataupun dalam memori.
(2)       Pengkajian Bicara.
Klien dengan stroke didapatkan bicara menjadi tidak jelas, bicara rero, pelo dan tidak dimengerti.
b)   Tes Fungsi Nervus Kranial.
(a).    Kerusakan Nervus I (olfaktorius) memperlihatkan gejala penurunan daya penciuman.
(b).    Nervus II (optikus). Penurunan daya penglihatan kehilangan sebagian penglihatannya, atau bahkan terjadi diplopia.
(c).    Nervus III (okulamotorius), Nervus IV (troklearis) dan Nervus VI (abdusens). Kerusakannya akan menyebabkan penurunan lapang pandang perubahan ukuran pupil, pupil tidak sama, pupil berdilatasi, pergerakan bola mata tidak simetris.
(d).   Nervus V (trigeminus). Kerusakannya akan menyebabkan gangguan dalam mengunyah, terjadi paralisis otot wajah dan penurunan fungsi reflek kornea.
(e).    Nervus VII (fasialis). Asimetris wajah saat tersenyum, melemahnya penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa 2/3 bagian tidak anterior lidah.
(f).     Nervus VIII (akustikus). Menyebabkan menurunnya fungsi pendengaran dan daya keseimbangan tubuh.
(g).    Nervus IX (glosofaringeus), Nervus X (vagus). Biasanya terjadi cegukan (hiccuping), biasa terjadi pada klien dengan resiko peningkatan intra kranial, menurunnya reflek menelan, menurunnya fungsi rasa pada 1/3 posterior lidah.
(h).    Nervus XI (asesorius). Biasanya terjadi penurunan kekuatan otot sternokleidomastoideus dan otot trapezius.
(i).      Nervus XII (Hipoglosus). Gejala yang biasa timbul adalah jatuhnya lidah ke salah satu sisi, menurunnya fungsi pergerakan lidah.
c)   Pemeriksaan motorik.
Dapat terjadi massa otot atropi, tonus otot menjadi kurang baik, terdapat penurunan kekuatan otot.
d)  Fungsi sensoris.
Bila terjadi kerusakan pada neuron sensoriknya kemungkinan klien tidak dapat merasakan sentuhan atau goresan tumpul, tajam dan halus. Tidak dapat membedakan panas dan dingin.

e)   Fungsi serebelum.
Fungsi koordinasi menjadi kurang sempurna dan terdapat gangguan keseimbangan tubuh.
f)    Tes fungsi refleks.
Terjadi penurunan reflek-reflek karena menurunya respon motorik involunter yang ditimbulkan karena adanya rangsangan di sepanjang lengkung reflek .
g)   Rangsang selaput meningeal.
Pada klien dengan stroke perdarahan intra serebral pun tanda meningeal dapat positif apabila stroke tersebut disebabkan karena sebelumnya ada riwayat hipertensi.
e) Sistem Perkemihan.
Terjadi perubahan pola  eliminasi seperti inkontinensia urine karena adanya paralise spinkter uretra.
f) Sistem Muskuloskeletal.
Biasanya terjadi kesulitan dalam aktivitas karena lemah, kehilangan fungsi sensasi, paralisis pada sebagian atau seluruh motorik, perubahan tonus otot, kelelahan, adanya pengurangan massa otot, terbatasnya Range Of Motion.
g)Sistem Integumen.
Pada stroke yang immobilitas lama terjadi kerusakan pada kulit daerah yang tertekan akibat immobilitasi yang menimbulkan perubahan aliran darah ke area yang tertekan dan menonjol.
g.    Hasil pengkajian khusus: masalah kesehatan kronis, fungsi kognitif, staus fungsional status psikologis, dan risiko jatuh.
h.    Lingkungan tempat tinggal: kebersihan dan kerapihan ruangan, penerangan, sirkulasi udara, dan keadaan kamar mandi dan WC, pembuangan air kotor, sumber air minum, pembuangan sampah, sumber pencemaran, penataan halaman, privasi, dan risiko injuri.
i.      Sistem nilai kepercayaan: aktivitas keagamaan yang dilakukan, pengetahuan tentang praktik keagamaan, kegiatan keagamaan yang ingin dilakukan, dan kepercayaan tentang kematian.
2.      Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan adalah keputusan klinis mengenai seseorang, keluarga, atau masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual atau potensial. (Hidayat, A. Azis., 2001:12). Diagnosa yang mungkin muncul pada klien dengan stroke menurut  Marilynn E. Doenges (1988:290-307); Barbara Engram (1997:633-641); Susan Martin Tucker (1998:485-492),  yaitu :
a.       Gangguan Perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah : gangguan oklusif, hemoragi, vasospasme serebral, edema serebral.
b.      Gangguan mobilitas berhubungan dengan penurunan fungsi neuromotorik, keterbatasan gerak.
c.       Gangguan pemenuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan melemahnya otot-otot yang digunakan untuk mengunyah dan menelan.
d.      Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kurangnya sirkulasi serebral, terganggunya tonus otot mulut dan wajah.
e.       Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan trauma neurologis atau defisit, penyempitan lapang persepeptual yang disebabkan oleh ansietas.
f.       Resiko tinggi terhadap bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran.
g.      Gangguan pemenuhan eliminasi urine : inkontinensia berhubungan dengan adanya kelemahan pada spingter urine.
h.      Gangguan pemenuhan kebutuhan elimunasi BAB : konstipasi berhubungan dengan adanya parese otot.
i.        Gangguan pemenuhan kebutuhan ADL sehubungan dengan adanya parese otot.
j.        Gangguan pemenuhan diri : body image menurun berhubungan dengan adanya parese otot.
k.      Gangguan rasa aman : cemas dari keluarga berhubungan dengan ketidakpastian hasil pengobatan dan perawatan serta adanya perubahan situasi dan krisis.
l.        Defisit pengetahuan mengenai kondisi dirinya dan prosedur pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kesalahan interpretasi informasi, kurangnya informasi.

3.      Perencanaan
a.       Gangguan Perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah : gangguan oklusif, hemoragi, vasospasme serebral, edema serebral.
Tujuan :
Tingkat kesadaran, fungsi kognitif dan sensori motorik membaik.
Kriteria evaluasi :
-          Tanda-tanda vital dalam batas normal        
-          Klien tidak mengeluh pusing.
No
Intervensi
Rasional
1.



2.


3.







4.


5.

6.


7.
Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan penyebab penurunan perfusi serebral

Pantau status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan keadaan normal
Observasi tanda-tanda vital, catat adanya hiper / hipotensi, bandingkan kiri dan kanan. Catat irama dan pola pernafasan, catat frekuensi dan irama jantung.




Evaluasi keadaan pupil, catat bentuk, ukuran, kesamaan dan reaksinya terhadap cahaya.
Pertahankan keadaan tirah baring, ciptakan lingkungan yang tenang.
Cegah terjadinya defekasi dan pernapasan yang memaksa (batuk terus menerus).
Berikan oksigen sesuai indikasi.
Kerusakan dan kegagalan memperbaikinya setelah fase awal memerlukan tindakan pembedahan atau klien harus dipindahkan keruang perawatan kritis.
Mengetahui kecenderungan peningkatan TIK, dan mengetahui kemajuan, atau kerusakan SSP.
Tersumbatnya arteri subklavia dapat dinyatakan dengan adanya perbedaan tekanan pada kedua lengan, ketidakteraturan irama pernafasan dapat memberikan gambaran lokasi kerusakan serebral, disritmia atau mur-mur mungkin mencerminkan adanya penyakit jantung yang menjadi faktor pencetus.
Reaksi pupil berguna menentukan apakah batang otak tersebut masih baik atau tidak.

Aktivitas dan stimulus yang kontinyu dapat meningkatkan TIK.
Valsava manuver dapat meningkatkan TIK.


Menurunkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi serebral.




b.      Gangguan mobilitas berhubungan dengan penurunan fungsi neuromotorik, keterbatasan gerak.
Tujuan :
Mempertahankann posisi yang optimal agar dapat berfungsi seperti pada saat tidak ada kontraktur.
Kriteria Evaluasi.
-          Klien dapat melakukan mobilisasi yang ringan sampai kemampuan yang sesuai dengan kondisi klien.
-          Tidak terjadi dekubitus, bronchopneumoni, tromboplebitis dan kontraktur sendi.
No.
Intervensi
Rasional
1.



2.


3.





4.




5.


6.
Koreksi tingkat kemampuan dan keterbatasan gerak dengan menilai kekuatan otot yang dinilai dalam derajat melalui skala 0-5.
Observasi terus kemampuan gerakan motorik, keseimbangan, koordinasi gerakan dan tonus otot.
Atur posisi klien dan ubah secara teratur 2 jam sekali bila tidak ada kejang, misal : posisi supinasi, promosi, tidur miring, dll.


Bantu klian melakukan gerakan secara pasif / aktif pada semua ekstremitas.



Lakukan massage perawatan kulit dan mempertahankan alat-alat tenun bersih dan kering.
Konsultasikan dengan ahli fisioterapi secara aktif, latihan resistif dan ambulasi klien


Dengan koreksi tingkat kemampuan dan keterbatasan gerak klien dapat menentukan tingkat aktivitas dan bantuan yang diberikan.

Dengan mengobservasi kemampuan gerak dapat memperlihatkan penurunan atau meningkatkan fungsi sensoris motoris.
Dengan mengubah posisi klien, dapat mengurangi resiko iskemik jaringan dan untuk memperlancar peredaran darah serta mengurangi sensasi / penekanan tubuh dimana merupakan penyebab terjadinya kerusakan kulit.
Gerakan pasif dan aktif dapat meminimalkan terjadinya atropi otot, memperlancar sirkulasi, mencegah menurunan tonus otot dan kekuatan otot serta dapat mencegah kontraktur.
Meningkatkan sirkulasi elastisitas kulit dan integritas kulit.

Program yang khusus dapat dikembangkan untuk menemukan kebutuhan yang berarti atau menjaga kekurangan tersebut dalam keseimbangan,  koordinasi dan kekuatan.

c.       Gangguan pemenuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan melemahnya otot-otot yang digunakan untuk mengunyah dan menelan.
Tujuan :
Tidak ada tanda-tanda kekurangan nutrisi.
Kriteria Evaluasi:
-          BB klien normal (BB normal, TB-100-10 % (TB-100)
-          Klien dapat makan melalui mulut dan kemampuan menelan kuat.
No
Intervensi
Rasional
1.


2



3.

4.


5.



6.



Timbang Berat badan.


Stimulasi bibir untuk menutup dan membuka mulut secara manual denagn menekan rinagn diatas bibir / dibawah dagu
Kaji perkembangan kemampuan menelan klien
Lakukan kolaborasi untuk pemberian makanan melalui NGT

Mulailah untuk memberikan makanan per orl setenganh cair, makana lunak ketika pasien dapat menelan air
Lakukan kolaborasi untuk pemberian cairan  melalui IV .
Penimbangan berat badan dapat mendeteksi perkembangan berat badan sehingga memudahkan untuk intervensi selanjutnya.
Membantu dalam melatih kembali motorik dan meningkatkan kontrol muskuler


Mengetahui tingkat perkembangan dan kemajuan dari kemampuan menelan klien
Dengan pemberian makanan melalui NGT memudahkan nutrisi masuk kebutuhan sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Makanan lunak atau cairan kental lebih mudah untuk mengendalikannya didalam mulut, menurunkan risisko terjadinya aspirasi

Mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan juga makanan jika pasien tidak mampu untuk memasukan segala sesuatu melalui mulut.

d.      Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kurangnya sirkulasi serebral, terganggunya tonus otot mulut dan wajah.
Tujuan :
Mengkomunikasikan kebutuhan dengan frustasi minimal.
Kriteria Evaluasi :
-          Klien dapat mengucapkan kata-kata.
-          Klien mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan benar dan jelas.
No
Intervensi
Rasional
1.



2.




3.



4.




5.
Kembangkan bentuk komunikasi klien dengan memulai bahasa isyarat atau panggilan yang jelas serta mudah dimengerti.
Bicaralah pada klien dengan suara tidak terlalu keras dan cepat.



Latih mengucapkan kata-kata pendek dan suruh klien mengulanginya dan memberi umpan balik.

Mintalah pasien untuk mengucapkan suara sederhana seperti “sh” atau “pus”.


Kolaborasi : konsultasi ke bagian speect therapist.
Dapat membantu klien mudah berkomunikasi, mengurangi kebingungan pada klien sehingga klien mampu melakukan komunikasi.

Klien dengan gangguan pola komunikasi tidak semuanya mengalami gangguan pendengaran sehingga suara yang keras dan terlalu cepat membuat klien marah karena klien dengan gangguan ini mudah sensitif.
Agar kemampuan bicara klien kembali berfungsi seperti semula, umpan balik dapat membantu klien untuk mengerti kalimat yang diucapkannya.
Mengidentifikasi adanya disatria sesuai komponen motorikdari bicara (seperti lidah, gerakan bibir, kontrol nafas) yang dapat mempengaruhi artikulasi dan mungkin juga tidak disertai afasia motorik
Dapat mengetahui kemampuan verbal, motor sensasi dan kemampuan kognitif dan untuk melakukan therapi rehabilitasi.

e.       Perubahan persepsi : sensori berhubungan dengan trauma neurologis atau defisit, penyempitan lapang perseptual yang disebabkan oleh ansietas.
Tujuan :
Memulai / mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi perseptual.
Kriteria evaluasi :
-          Mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlibatan residual.
-          Mendemonstrasikan perilaku untuk mengkompensasi terhadap hasil.
No
Intervensi
Rasional
1.




2.

3.


4.

Evaluasi adanya gangguan penglihatan, catat adanya penurunan lapang pandang, perubahan persepsi.


Dekati pasien dari daerah penglihatan yang normal, biarkan lampu menyala.
Ciptakan lingkungan yang tidak membahayakan.

Berikan latihan stimulus panas / dingin, tajam / tumpul dan sentuhan.

Gangguan pada penglihatan berdampak negatif terhadap kemampuan klien menerima lingkungan dan mempelajari kembali keterampilan motorik dan meningkatkan resiko terjadinya cedera.
Mencegah klien terkejut.

Menurunkan jumlah stimulus penglihatan yang mungkin dapat menimbulkan kebingungan terhadap interpretasi lingkungan.
Membantu melatih kembali jaras sensorik untuk menginterpretasikan persepsi dan interpretasi stimulasi.

f.       Resiko tinggi terhadap bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran.
 Tujuan :

 Jalan nafas tetap baik dan lancar.

               Kriteria evaluasi :
-     Nafas tidak berbunyi
-     GDA dalam batas normal
-     Warna kulit normal.


No
Intervensi
Rasional
1.


2.



3.

4.



5.



Ubah posisi semifowler setiap 2 jam sekali.

Lakukan pengisapan lendir dengan hati-hati selama 10-15 detik.


Lakukan fisioterapi dada / clapping.

Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian O2


Lakukan kolaborasi dengan tim analisis dan melaksanakan analisis gas darah.

Posisi semi fowler dapat mengeluarkan secret dan mencegah aspirasi sehingga membuka jalan nafas dan kebutuhan 02 terpenuhi.
Dengan dilakukannya pengisapan lendir maka jalan napas akan bersih dan akumulasi secret dapat dicegah sehingga pernafasan akan tetap lancar dan efektif.
Dengan melakukan clapping dapat membantu melepaskan secret pada daerah bronchus.
Membantu asupan O2 adekuat dengan menghindari resiko kesalahan penggunaan (terlalu banyak atau terlalu sedikit) dan komplikasi lanjut
Analisa gas darah dapat menentukan keefektifan respirator, keseimbangan cairan asam basa dan kebutuhan terapi.

g.      Gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi urine : inkontinensia berhubungan dengan adanya kelemahan pada spingter urine.
Tujuan :
Kebutuhan eliminasi urine terpenuhi.
Kriteria Evaluasi:
-         Klien mampu BAK tanpa mengganggu rasa nyaman.
No
Intervensi
Rasional
1.

2.


3.

4.
Kaji kemampuan BAK klien

Kolaborasi pemasangan  kateter.


Observasi haluaran urine

Latih pengosongan bladder secara teratur pada jam-jam tertentu.
Mengetahui tingkat gangguan terhadap pemenuhan kebutuhan eliminasi BAK
Dengan pemasangan kateter dapat membantu pengosongan bladder sehingga retensi urine dapat dicegah.
Memberikan informasi tentang fungsi kandung kemih dan perkembangan dari fungsi spingter
Akan melatih dan merangsang kontraksi bladder sehingga klien dapat menahan atau mengeluarkan urine secara tepat.

h.      Gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi BAB : konstipasi berhubungan dengan adanya parese otot.
Tujuan :
        Eliminasi BAB klien dapat terkontrol
Kriteria evaluasi:
-          Klien mampu BAB 1 x dalam sehari.
-          Konsintensi faeses lembek
No.
Intervensi
Rasional
1.
Observasi adanya distensi abdomen jika bising usus menurun  dan auskultasi bising usus
Hilangnya peristaltik karena saraf yang terganggu melumpuhkan usus sehingga motilitas usus menurun.
2.
Latih pergerakan sendi pinggul
Merangsang peristaltik colon sehingga proses pengeluaran faeses dapat berjalan lancar.
3.
Massase daerah bokong dan punggung.

Merangsang persarafan yang mempersarafi organ pencernaan bagian bawah, sehingga kerja colon dapat pulih kembali dan proses defekasi dapat berjalan dengan lancar.
4.
Beri makanan yang mengandung tinggi serat

Makanan yang mengandung tinggi serat dapat mencegah terjadinya obstipasi karena makanan berserat tidak dapat dicerna oleh tubuh sehingga menghasilkan residu yang banyak dan dapat merangsang rectum untuk mengeluarkan faeses.
5.
Anjurkan banyak minum air putih
Merangsang peristaltik usus dan menghindari absorbsi air yang berlebih sehingga feses tidak mengeras.
6.
Kolaborasi pemberian supositoria.

Melembekkan konsistensi faeses dan merangsang peristaltik spingter sehingga proses defekasi dapat berlangsung.

i.        Gangguan pemenuhan kebutuhan ADL sehubungan dengan adanya parese otot.
Tujuan :
Kebutuhan ADL terpenuhi
Kriteria Evaluasi :
-          Makan, minum, eliminasi dan personal hygiene terpenuhi.
No
Intervensi
Rasional
1.


2.



3.


4.


5.


6.

7.


Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan untuk melakukan kebutuhan sehari-hari
Hindari melakukan sesuatu untuk pasien yang dapat dilakukan pasien sendiri, tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan.
Tempatkan alat-alat yang dibutuhkan berdekatan dengan klien

Observasi keadaan integritas kulit terutama daerah yang menonjol dan lakukan masase
Berikan umpan balik positif untuk setiap tindakan yang berhasil dilakukan.
Kaji ulang kekuatan otot klien

Libatkan keluarga dalam memenuhi kebutuhan klien (mandi, keramas, sikat gigi dll)
Membantu mengantisipasi / merencanakan pemenuhan kebutuhan secara individual.

Pasien mungkin menjadi sangat ketakutan dan sangat tergantung meskipun bantuan yang diberikan bermanfaat dalam mencegah frustasi.
Meningkatkan kemandirian dan mendorong klien untuk berusaha sesuai dengan kemampuannya.
Penekanan yang terlalu lama beresiko terjadinya iskemia, stimulasi sirkulasi mencegah kerusakan kulit
Meningkatkan makna diri, meningkatkan kemandirian dan mendorong klien untuk berusaha sesuai dengan kemampuannya.
Mengetahui kemampuan kekuatan klien dalam pemenuhan aktivitas
Memandirikan keluarga dalam memenuhi kebutuhan personal hygiene klien.

j.        Gangguan konsep diri : body image menurun berhubungan dengan adanya parese otot.
Tujuan :
Menunjukkan konsep diri yang baik.
Kriteria evaluasi :
-       Klien  menerima akan  keadaan dirinya.
-       Klien mampu menerima kenyataan tanpa konsep diri yang negatif
No.
Intervensi
Rasional
1.
Identifikasi klien akan arti kehilangan / tidak, fungsinya perubahan dirinya klien dan ketidakberdayaan.
Agar klien menerima perubahan fungsi yang terjadi pada diri klien secara efektif.
2.


3.



4.



5.

6.



7.


Bantu klien mengekspresikan perasaannya.

Monitor adanya gangguan tidur, semakin sulit berkonsentrasi, ketidak- mampuan mencegah masalah dan menarik diri.
Tekankan keberhasilan yang kecil sekalipun baik mengenai penyembuhan fungsi tubuh ataupun kemandirian pasien.
Bantu dan dorong kebiasaan berpakaian dan berdandan yang baik
Berikan dukungan terhadap prilaku / usaha seperti peningkatan minat/partisipasi pasien dalam kegiatan rehabilitasi
Kolaborasi dengan neuropsikologis
Dapat membantu klien untuk mengetahui dan menerima bahwa perasaannya itu tidak akan memperburuk keadaannya.
Untuk mengetahui awal depresi sehingga membutuhkan evaluasi dan intervensi selanjutnya.

Mengkonsolidasi keberhasilan membantu menurunkan perasaan marah dan ketidak berdayaan menimbulkan perasaan adanya perkembangan
Membantu peningkatan rasa harga diri dan kontrol atas salah satu bagian kehidupan.
Mengisyaratkan kemungkinan adaptasi untuk mengubah dan memahami tentang peran diri sendiri dalam kehidupan selanjutnya.

Dapat mempermudah adaptasi terhadap perubahan peran yang perlu agar merasa menjadi orang yang produktif.

k.      Gangguan rasa aman : cemas keluarga berhubungan dengan ketidakpastian hasil pengobatan dan perawatan serta adanya perubahan situasi dan krisis.
Tujuan :

Rasa aman keluarga terpenuhi

Kriteria evaluasi :
-       Keluarga klien mampu mengekspresikan perasaannya.
-       Ekspresi wajah keluarga klien tenang.



No.
Intervensi
Rasional
1.
Kaji perasaan keluarga dan beri rasa simpati dengan memberi kesempatan keluarga mengekspresikan perasaannya.
Kekhawatiran keluarga klien dapat menimbulkan kecemasan sehingga membutuhkan orang lain yang mau mendengarkan keluhan-keluhannya agar keluarga klien merasa ada yang memperhatikan sehingga mengurangi kecemasan.
2.
Berikan penjelasan kepada keluarga mengenai kondisi rencana perawatan klien secara akurat dan memperhatikan kondisi dan situasi.
Keluarga klien tidak dapat menerima seluruh informasi karena pengaruh emosi, oleh karena itu beri informasi bila situasi dan kondisi benar-benar memungkinkan agar tidak menimbulkan salah persepsi.
3.


4.

Libatkan keluarga dalam pengambilan keputusan dan perencanaan.
Beri dukungan pada kelurga dengan mengenali koping mekanisme positif yang dipakai
Dengan tindakan tersebut  keluarga klien menjadi bagian integral dari program yang dijalankan.
Dengan diberikan dukugan diharapkan kelurga termotivasi untuk melakukan koping yang positif terhadap kecemasan.

l.        Defisit pengetahuan mengenai kondisi dirinya dan prosedur pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kesalahan interpretasi informasi, kurangnya informasi.
Tujuan :
Klien berpartisipasi dalam proses belajar.
Kriteria evaluasi :
-          Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi atau prognosis dan aturan therapeutik.
-          Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan.
No
Intervensi
Rasional
1.


2.


3.

4.

5.


6.


Tinjau ulang keterbatasan saat ini dan diskusikan rencana kemungkinan kembali aktivitas.
Tinjau ulang atau pertegas kembali pengobatan yang diberikan. Identifikasi cara meneruskan program setelah pulang.
Identifikasi tanda dan gejala yang memerlukan kontrol secara medis.
Identifikasi faktor-faktor resiko secara individual.
Identifikasi sumber-sumber yang ada di masyarakat, seperti perkumpulan stroke atau program pendukung lainnya.
Rujuk/tegaskan perlunya evaluasi dengan tim ahli rehabilitasi seperti ahli fisio-terapi fisik, okupasi dan terapi wicara.
Meningkatkan pemahaman dan memberikan harapan pada masa yang akan datang.

Aktivitas yang dianjurkan pembatasan dan kebutuhan obat atau terapi dibuat atas dasar pendekatan interdisiplin terkoordinasi.
Menurunkan resiko terjadinya komplikasi.

Meningkatkan kesehatan secara umum dan mungkin menurunkan resiko kambuh.
Meningkatkan kemampuan koping dan meningkatkan penanganan di rumah dan penyesuaian terhadap kerusakan.
Kerja sama yang baik pada akhirnya diharapkan atau meminimalkan adanya gejala sisa atau penurunan neurologis.


C.     TINJAUAN KASUS LANSIA DENGAN PASCA STROKE

0 komentar:

Posting Komentar